Rabu, 10 April 2013

Perayaan 1 Suro Kaweruh Jendra Hayuningrat bag 6 (selesai)

Tatacara siraman pusaka di Karaton Jogjakarta 
Upacara tradisional ini hanya untuk internal karaton, hanya di ikuti raja , beberapa bangsawan  dan abdidalem yang ditunjuk. Pada jam 10.00 pagi, Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan mengenakan pakaian keprabon, pakaian raja, didampingi seorang Pangeran keluar dari Bangsal Prabayeksa berjalan menuju Bangsal Manis. Pusaka karaton paling sakral yaitu Kanjeng Kyai Ageng Plered dikawal oleh tiga buah pusaka berujud tombak yaitu Kanjeng Kyai Ageng ( KKA) Gadatapan, KKA Gadawedana dan KKA Megatruh melewati Bangsal Kencana dibawa ke Bangsal Manis.  (Pusaka-pusaka karaton diberi pangkat kebangsawanan seperti Kanjeng Kyai Ageng . Kanjeng Kyai dsb) Pusaka KKA Plered yang berupa Tombak diletakkan ditempat khusus lalu dibuka sarungnya, demikian juga pusaka-pusaka yang lain.
Sri Sultan Hamengku Buwono X sendiri membawa KKA Plered ke suatu tempat yang disebut Gilang di halaman Bangsal Manis dan memandikan sendiri pusaka tersebut. Beliau juga memandikan secara langsung beberapa keris pusaka seperti : K.K.A. Kopek, KKA Jaka Piturun, KKA Sengkelat, KKA Mahesa Nular, KKA Simbar Inten. Pusaka tombak lain yang terkenal adalah KKA Baru dan KKA Macan. Pusaka-pusaka yang lain pelaksanaan siramannya dilakukan oleh para abdidalem yang ditunjuk.
Sesudah KKA Plered dimandikan, seorang abdidalem diperintahkan untuk pergi ke Musium Kereta milik karaton di Rotowijayan, memberitahu bahwa KKA Plered telah di sirami. Itu berarti kereta-kereta milik kerajaan supaya segera dimandikan. Kereta yang pertama dimandikan adalah Kereta Kanjeng Nyai Jimat yang adalah warisan dari Sultan Hamengku Buwono I, disusul kereta-kereta yang lain yang jumlahnya 18      ( delapan belas) buah. 

Siraman Kereta 
Siraman kereta karaton Jogjakarta dilaksanakan dihalaman Musium Kereta di Rotowijayan, sebelah barat karaton. Malam hari sebelum pelaksanaan siraman, para abdidalem terkait melaksanakan selamatan lengkap dengan sesajinya. Air siraman kereta pusaka dipercaya mempunyai daya magis yang kuat untuk menyembuhkan orang sakit, menyuburkan tanah, melindungi sawah dan tanaman , sehingga padi dan tembakau dan tanaman-tanaman yang lain terhindar dari serangan hama.
Oleh karena itu, pada waktu siraman kereta pusaka banyak orang yang menyaksikan antara para petani yang tidak saja dari Jogja ,tetapi datang dari sekitar Jogja seperti dari Wonosobo, Temanggung, Dieng dll.Mereka pulang dengan membawa beberapa botol air . 

Puro Pakualaman 
Siraman pusaka di Puro Pakualaman dipimpin langsung oleh KGPAA Paku Alam IX dibantu oleh beberapa kerabat dan abdidalem. Waktunya bersamaan dengan pelaksanaan pusaka di Karaton Jogjakarta. Para abdidalem gamelan ( pengrawit) sibuk memandikan gamelan Puro a.l. Kanjeng Kyai Gambir Anom. 

Upacara ritual di Imogiri

Beberapa keris pusaka milik Karaton Jogjkarta warisan dari Sultan Hamengku Buwono VIII yang disimpan di Saptarengga, makam raja-raja di Imogiri yaitu KK Jathakilat dan KK Pacar dimandikan  pada hari yang sama seperti di Karaton.

Pembersihan tempat air 

Dibulan Suro, biasanya pada hari Jum’at Kliwon jam 9.30 pagi para abdidalem Makam Imogiri mulai melakukan upacara ritual untuk membersihkan 4 ( empat) buah tempat air besar yang terletak  di halaman Sapiturang , tepat di halaman pintu masuk makam Sultan Agung, Raja Besar wangsa Mataram.
Nama-nama tempat air ( enceh) tersebut adalah : Nyai Siyem dan Nyai Mendhung yang diurus oleh abdidalem Karaton Surakarta dan Kyai Danumoyo dan Kyai Danumurti yang di urus oleh abdidalem Karaton Jogjakarta.
Sesuai dengan tradisi, sebelum keempat enceh dikuras dan dibersihkan, para abdidalem dari kedua karaton terlebih dahulu mengadakan selamatan dan sesaji.
Abdidalem Karaton Surakarta mengenakan pakaian tradisional berupa beskap putih, sedangkan abdidalem Karaton Jogjakarta berpakaian baju pranakan warna biru.
Upacara pengurasan air Imogiri juga dihadiri banyak pengunjung terutama para petani dari Jogja, Solo dan sekitarnya.
Setelah upacara selesai mereka membawa pulang air dari enceh Imogiri untuk dipergunakan sesuai dengan kebutuhannya a.l. untuk menyembuhkan orang sakit, melindungi sawah dan ladang dari ancaman hama dan untuk menyuburkan tanah.
Mereka yakin bahwa dengan menaburkan air Imogiri, tanaman mereka akan tumbuh subur, terbebas dari gangguan hama dan hasil panennya bagus. Kebiasaan seperti ini telah berjalan lama. 


Bubur Suran 
Ada tradisi menarik yang dilakukan keluarga Jawa untuk menyambut bulan Suro. Pada malam 1 Suro, santap malam keluarga adalah menu special tetapi sederhana, yaitu Bubur Suran.
Bubur Suran baku yang disajikan terdiri dari : Bubur Putih; Kedelai Hitam digoreng; Telur Ayam Kampung digoreng dadar di-iris-iris; Serundeng Kalapa; Rujak Degan – minuman segar kelapa muda dengan gula Jawa; Janur Kuning sehelai dipasang diatas pintu masuk rumah.
Maksud dari menyantap bersama Bubur Suran itu adalah :
  1. Makan bersama menunjukkan kerukunan berkeluarga, semua senang bahagia , bersyukur bisa kumpul menikmati hidangan enak meskipun sederhana. Itu semua adalah berkah Gusti, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Semua hidangan adalah pemberian Ibu Pertiwi, untuk itu supaya selama hidup dibumi selalu dapat makan, kita semua wajib menjaga, memelihara bumi tempat kita tinggal.
  2. Bubur Putih melambangkan kesucian jalan hidup yang kita lakukan.
  3. Kedelai Hitam yang digoreng . Ini menunjukkan sikap hidup dan watak yang mituhu- selalu setia untuk berbuat baik dan benar dengan cara mematuhi ajaran pinisepuh supaya anak cucu selalu manembah dan berada dijalan yang diberkahi dan diperkenankan Tuhan, selalu berbudi pekerti dan memegang prinsip-prinsip tata krama dan tata susila dalam pergaulan.
  4. Telur Ayam Kampung digoreng dadar dan di-iris-iris. Merupakan simbol dari hidup yang berkesinambungan dan sumrambah menyebar dimana-mana. Petunjuk baku dalam manusia menjalani hidup adalah supaya umat manusia yang sebenarnya serumpun dan bersaudara, karena berasal dari Asal Muasal yang satu dan sama, supaya adil dalam menikmati produk-produk yang diberikan oleh  alam ini.
  5. Serundeng Kelapa merupakan petunjuk jelas supaya kita semua mengikuti filosofi kelapa . Pohon kelapa tumbuh dimana-mana dengan mudah dan subur dan mampu menyesuaikan dengan keadaan setempat, demikian juga manusia. Selain itu semua bagian dari pohon kelapa amat berguna baik buahnya, serabutnya, batangnya, lidinya maupun daunnya. Ini contoh yang positif bagi manusia. Hendaknya segala perbuatan kita juga bermanfaat bagi sesama. Kita mampu berkarya, mampu menolong, memberi kepada sesama. Kita bisa memberikan hal-hal yang baik, jangan kita membuat sakit hati orang lain, karena seperti dikatakan oleh para pinisepuh bijak : Menyakiti orang lain artinya juga menyakiti diri sendiri. Cobalah kita renungkan, apa gunanya membuat sakit hati orang lain?
  6. Rujak Degan merupakan simbul manusia wajib menjalani hidup dengan antusias, bekerja dengan baik ,benar ,giat. Itu artinya kita berterimakasih kepada  Tuhan, yang memberi hidup dan menghidupi.Kita ajak semua saudara kita untuk tidak loyo menjalani kehidupan ini. Mari kita hidup rukun dalam suasana regeng – semarak, menyenangkan.
  7. Janur Kuning  dipasang diatas pintu rumah. Ini perlambang hidup kita yang sejati yang selalu dekat dengan Gusti, Tuhan.Di-ayomi, dilindungi Beliau siang dan malam, sepanjang waktu.

Oleh karena itu kita mesti menjalani hidup ini dengan mantap, selalu dalam koridor yang ditetapkan oleh Nya. Harus selalu berbuat baik, benar dan bijak dan semua itu sesuai dengan sikap kedewasaan kita masing-masing, harus dipahami dengan sadar sesadar-sadarnya.Sikap seperti ini dipunyai oleh saudara-saudara kita yang telah mendapatkan pencerahan jiwa.

Jenang Suran
Janur adalah Sejatining Nur atau istilah kebatinan umum adalah Nur Sejati artinya Cahaya yang sejati. Cahaya yang sejati itulah hidup yang sebenarnya yang berada bersama dalam badan fisik dan eteris kita. Ada yang menyebut sebagai Suksma Sejati atau Pribadi Sejati, Hidup sejati. Istilah universalnya adalah Spirit.
Sang Hidup sejati atau suksma atau spirit ini selalu hidup dan keberadaannya bersama atau manunggalnya dengan raga fisik dan eteris ( kasar dan halus) manusia, itulah yang membuat manusia hidup didunia ini. Dan itu terjadi atas perkenan Sang Suksma  Agung, Gusti, Tuhan.
Yang berhubungan dengan  Sang Suksma Agung, Gusti bukanlah badan kasar dan halus manusia melainkan Pribadi Sejati, istilah universalnya Higher Self. Manusia yang dewasa kesadarannya berusaha untuk mampu ketemu dengan Pribadi Sejati/Higher Self untuk mengetahui kehidupan sejati.
Kuning, warnanya adalah kuning bersih, kuning muda . Ini simbolik dari hidup yang cerah karena telah sadar dan menghayati hidup yang sejati. Hidup ini bukanlah hidup sendiri, untuk kepentingannya sendiri, maunya menang dan enak sendiri atau paling-paling buat keluarga terdekatnya dan konco-konconya. Hidup ini untuk seluruh manusia bahkan seluruh mahluk dijagad raya ini.Untuk itu, kita mesti menjalani dan menikmati hidup didunia ini untuk kebersamaan dengan cara yang baik, benar dan adil.
Seorang spiritualis pada waktu melakukan meditasi, pada puncak keheningan dalam kesadaran penuh, dia melihat baik dengan mata terbuka maupun tertutup dan merasakan hatinya begitu tentram, nafasnya lembut, dia berada ditengah-tengah cahaya kuning bersih lembut, artinya kepasrahannya kepada Tuhan telah diberi anugerah, bahwa hidupnya didunia diberkahi oleh Nya.
Itulah sedikit penjelasan mengenai apa yang tersirat dalam filosofi  Bubur Suran . Memang nenek moyang orang Jawa itu sukanya memberikan sanepo semacam petunjuk atau nasihat yang harus dibuka apa arti sebenarnya.
Tulisan ini untuk menyambut  1 Sura 1947 Tahun ALIP Windu SANGARA Jatuh pada hari Selasa Pon tanggal 05 November 2013.

Hari & Tanggal    =   Selasa Pon, 5 November 2013
                                  1 Sura 1947 Tahun ALIP Windu SANGARA
                                  1 Muharram 1435H
Neptu                      = 10
Wuku                      = LANGKIR
Pangarasan            = Aras Pepet
Pancasuda             = Satria Wibawa
Dina                       = Dina Kuda
Lintang 12             = Lintang Jadiyan (Jadi)
Pranotomongso     = KALIMO ( 14 Oktober - 9 November )
Bintang                  = SCORPIO ( 24 Oktober - 22 November ) 

Catatan : Peringatan 1 Suro dimulai sejak tahun 1633 Masehi, ketika Sultan Agung Hanyokrokusumo 
membuat kalender Jawa yang baru. 1 Suro dimaksudkan untuk lebih mempersatukan raja dan kawula. Pada saat itu negeri mulai terancam. Sultan Agung tidak mengadakan upacara ritual kerajaan Rajawedha, sebagai gantinya diadakan Upacara 1 Suro, yang hakikatnya menyatukan Rajawedha dengan upacara kaum petani Gramawedha yang waktunya bersamaan dengan 1 Muharam, tahun baru Umat Islam.
Pergantian hari mengikuti sistim rembulan pada jam 6 sore.
Secara politis tindakan ini juga bertujuan untuk memperkuat persatuan bangsa  melawan ancaman penjajah, dengan upaya menyatukan umat Islam Mataram dengan Banten.


Tidak ada komentar: