Kamis, 04 April 2013

Perayaan 1 Suro Kaweruh Jendra Hayuningrat bag 5

Pesan dari Sri Pakoeboewono XII
Sehubungan dengan kirab 1 Suro, Sri Susuhunan Pakoeboewono XII almarhum pernah bersabda bahwa Kirab Pusaka 1 Suro di Surakarta diadakan dengan harapan untuk membantu rakyat supaya hidup selamat, damai, makmur atas perkenan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Selanjutnya beliau menyatakan : Di Karaton Surakarta, Kirab Pusaka adalah tradisi untuk memperingati tahun baru 1 Suro. Pusaka-pusaka tersebut dipercaya memiliki daya supranatural yang akan menyebarkan daya magisnya. Selama kirab, semua keluarga Karaton yang terkait dengan upacara tersebut wajib untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa supaya Negara beserta segala isinya berada dalam keadaan selamat. Kirab Pusaka bukanlah pameran senjata, ini adalah manifestasi budaya tradisional yang dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan.

Perawatan Pusaka
Pusaka-pusaka karaton disimpan di-nDalem Ageng Prabasuyasa. Kamar pusaka diurusi oleh beberapa abdidalem wanita yang ditunjuk.
Untuk persiapan kirab, beberapa pusaka dibawa kesebuah tempat yang namanya Parasdya. Sinuwun memutuskan beberapa orang bangsawan  dan abdidalem untuk mengikuti kirab sesuai rute yang telah ditentukan.
Setiap pusaka yang dikirab dilindungi kain beludru dan diangkat dua orang. Selama kirab yang merupakan upacara sakral, maka semua petugas yang mengikuti kirab yang lamanya kurang lebih 4 (empat) jam itu dilarang berbicara, merokok, makan, minum dan selama waktu itu harus berlaku patut dan sopan. Ada beberapa abdidalem yang bertugas untuk mengawal pusaka-pusaka sambil terus menerus membakar dupa.

Di Jogjakarta
Karaton Jogjakarta tidak mempunyai tradisi melakukan kirab pusaka di bulan Suro. Pusaka Karaton dikirabkan diluar karaton pada saat yang diperlukan dan atas permintaan masyarakat, misalnya untuk melawan wabah penyakit, banjir, kebakaran marabahaya dll. Pusaka-pusaka karaton yang pernah dikirabkan a.l. Kanjeng Kyai Tunggul Wulung untuk melawan wabah penyakit yang waktu itu melanda Jogja.
K.K. Tunggul Wulung sebuah pusaka berupa bendera hitam yang bergaris kuning dipinggirnya. Ditengah ada lukisan pedang putih dan lingkaran-lingkaran merah dan huruf Arab. Kanjeng Kyai Pare Anom sebuah bendera berwarna hijau dengan tulisan huruf Arab. Kedua pusaka itu dipercaya mempunyai daya magig putih yang kuat.

Kirab Keliling Benteng Karaton
Dimulai sejak tahun 1950, paguyuban bangsawan Jogjakarta yang bernama Hari Dewado memperingati 1 Suro dengan cara melakukan kirab, berjalan kaki mengelilingi Benteng Karaton disebelah luar. Kegiatan ini kemudian menjadi tradisi. Sampai kini, setiap malam 1 Suro , masyarakat secara spontan berjalan keliling Benteng Karaton sebagai upacara ritual. Lalu oleh para pelaku Jendra walaupun jauh dari keraton, para pinisepuh pamencar Kaweruh kasepuhan juga menularkan budaya keliling benteng keraton dengan sebutan mider-jagat yaitu berjalan mengelilingi batas desa.
Meski kirab ini tidak ada yang mengorganisir, tetapi warga yang berpartisipasi melakukan dengan tertib. Selama berjalan keliling benteng tidak bicara, istilah lokalnya mbisu. Ini merupakan salah satu laku spiritual supaya mendapatkan ketentraman hidup. Tak ubahnya laku spiritual yang di ajarkan oleh para pinisepuh kaweruh Jendra, mider-jagat juga dilakukan dengan mbisu.
Para peserta jalan keliling bukan hanya bangsawan Jogja, tetapi bebas, boleh dilakukan siapapun. Biasanya kirab keliling benteng berakhir jam 4 ( empat) pagi.


Kegiatan abdidalem
Karaton Jogjakarta dan Puro Pakualaman pada setiap malam 1 Suro juga mempunyai upacara ritual yang dilakukan oleh beberapa abdidalem yang ditugasi. Tetapi kegiatan itu hanya untuk keperluan Karaton dan Puro dan tidak dipublikasikan.  Tetapi apabila ada orang yang kebetulan tahu dan mendatangi tempat upacara, mereka tidak akan diusir oleh abdidalem yang bertanggung jawab. Upacara 1 Suro oleh Karaton  pernah dilakukan di Ngobaran, pantai selatan sedangkan Puro melakukan di Gunung Lanang . Menurut para pelaku spiritualis Kejawen, kedua tempat tersebut mempunyai daya linuwih - enerji yang bagus dan kuat.
Adalah hal yang biasa bila dimalam 1 Suro, Sultan Hamangkubuwono IX maupun Sri Pakualam IX masing-masing mempunyai acara.
Siraman Pusaka
Karaton Surakarta, Karaton Jogjakarta, Puro Pakualaman mengadakan siraman pusaka- pemandian pusaka pada hari Selasa Kliwon setiap bulan Suro. Kalau dibulan Suro tidak ada hari Selasa Kliwon, maka diadakan pada hari Jum’at Kliwon atau Jum’at Legi. Puro Mangkunagaran mengadakan upacara siraman pusaka pada pagi hari 1 Suro.
Arti lain dari Suro adalah berani.
Pusaka-pusaka Karaton dan Puro adalah pusaka-pusaka sakti yang dulu dipakai sebagai senjata dalam perang. Dengan men-jamasi-nya /menyucikannya di bulan Suro, pusaka-pusaka tersebut akan tetap mempunyai sifat berani dan tetap memancarkan enerji yang baik .

Tradisi memandikan/menyucikan puasa pada bulan Suro telah menjadi tradisi bagi para pemilik pusaka diluar karaton. Setiap bulan Sura, mereka akan  memandikan pusakanya. Bila tidak bisa melakukannya sendiri, bisa minta bantuan pihak yang ahli dalam siraman pusaka. Setiap Karaton dan Puro mempunyai abdidalem yang khusus mengurusi pusaka.
Pelaksanaan Siraman Pusaka
Dipagi hari Selasa Kliwon, sekitar jam 10.00 siraman dimulai. Raja akan melakukan sendiri siraman beberapa pusaka karaton yang terpenting.
Karaton Surakarta pusaka andalannya  Kanjeng Kyai Baru ; Karaton Jogjakarta adalah Kanjeng Kyai Plered. Pusaka-pusaka tersebut diambil sendiri oleh raja atau oleh seorang Bupati wanita yang ditunjuk dari Bangsal Prabayeksa. Kemudian pusaka –pusaka dimandikan dengan proses sebagai berikut :
1. Mutihi – membersihkan
2. Marangi - mengolesi dengan warangan
3. Anjamasi - mengoleskan minyak cendana
Sesudah siraman selesai, pusaka-pusaka dikembalikan ke Bangsal Prabayeksa.
Sesaji

Sebelum pelaksanaan siraman pusaka, seperangkat sesaji disiapkan terlebih dulu, yang terdiri dari a.l. : beberapa bubur berwarna-warni; buah-buahan; ayam jago; daging untuk beberapa pusaka. Selanjutnya pusaka-pusaka diatur di Bangsal Manis. Selama proses siraman berlangsung, ada abdidalem yang membakar kemenyan.

Tidak ada komentar: