Sabtu, 30 Maret 2013

Perayaan 1 Suro kaweruh Jendra Hayuningrat bag 2



Tempat-tempat terkenal yang dipakai untuk tirakatan 1 Suro 
Desa Pantaran, 16 km sebelah utara Boyolali, dilereng timur Gunung Merbabu.
Dinginnya udara malam dan dinginnya air sungai Sipendok yang bagaikan es, tidak menyurutkan minat para peziarah untuk mandi disungai tersebut.
Sesuai kebiasaan di Pantaran, para peziarah mandi berendam disungai dengan memegangi sebuah lilin yang dinyalakan, mereka baru naik sesudah lilin itu habis. Sesudah itu , mereka meneruskan tirakatan dipinggir kali sampai pagi.
Pantaran adalah pertapaan yang terkenal, yang dulu sering dipakai bertapa keluarga Kerajaan Pengging termasuk Jaka Tingkir pada masa mudanya. Jaka Tingkir dinobatkan menjadi Raja Kerajaan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya.

Gunung Merapi

Penduduk desa Selo yang terletak dilereng utara Gunung Merapi, setiap malam 1 Suro mengadakan ritual sesaji sedekah gunung untuk memperingati 1 Suro. Sesajinya antara lain berupa kepala kerbau yang ditanam dipuncak Gunung Merapi, tetapi bila cuaca buruk dan gunung sedang gawat, cukup ditanam disuatu tempat yang disebut Pasar Bubrah.

Gunung Merbabu
Pada malam 1 Suro, penduduk yang tinggal dilereng utara Gunung Merbabu melakukan sedekah tradisional didekat Kawah gunung.

Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro

Gunung-gunung ini terletak di Temanggung dan Wonosobo di Jawa Tengah. Warga setempat yang tinggal dilereng-lereng gunung Sumbing dan Sindoro pada malam 1 Suro mendaki kepuncak-puncak gunung tersebut yang tingginya lebih dari 3000 m diatas laut. Mereka berada dipuncak sampai matahari terbit. Ini sudah menjadi tradisi turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu.


Jumat, 29 Maret 2013

Perayaan 1 Suro menurut kaweruh Jendra Hayuningrat bag 1


Perayaan 1 Suro
             Masyarakat tradisional Jawa dan para pelaku kaweruh Jendra Hayuningrat yang tinggal di Jawa maupun bagian lain Indonesia banyak yang merayakan 1 Suro, perayaan 1 Suro adalah dipandang sebagai hari sakral. Secara tradisi turun temurun, kebanyakan orang  mengharapkan “ ngalap berkah” mendapatkan berkah pada hari besar yang suci ini.Pada malam 1 Suro, biasanya orang melakukan laku prihatin untuk tidak tidur semalam suntuk atau selama 24 jam.
1 Suro adalah Tahun Baru menurut kalender Jawa. Berbeda dengan perayaan Tahun Baru kalender Masehi yang setiap tanggal 1 Januari dirayakan dengan nuansa pesta , orang Jawa tradisional lebih menghayati nuansa spiritualnya.

Pemahamannya adalah : Tanggal satu pada tahun baru Jawa diperingati sebagai saat dimulainya adanya kehidupan baru. Umat manusia dari lubuk hati terdalam manembah, menghormati kepada Yang Satu itu, Yang Tunggal, Yang Esa, yang mula-mula menciptakan seluruh alam raya ini dengan semua isinya, termasuk manusia, yaitu Gusti, Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu peringatan 1 Suro selalu berjalan dengan khusuk, orang membersihkan diri lahir batin, melakukan introspeksi, mengucap syukur kepada Gusti,Yang Membuat Hidup dan Menghidupi, yang telah memberi kesempatan kepada kita semua untuk lahir, hidup dan berkiprah didunia ini.

Menyadari atas kesempatan teramat mulia yang diberikan oleh Sang Pencipta, maka sudah selayaknya manusia selaku titah menjalankan kehidupan didunia yang waktunya terbatas ini, dengan berbuat yang terbaik, tidak hanya untuk dirinya sendiri dan keluarga terdekatnya, tetapi untuk sesama mahluk Tuhan dengan antara lain melestarikan jagad ini, istilah kejawennya adalah Memayu Hayuning Bawono.  Tidak salah jagad harus dilestarikan, karena kalau jagad rusak, didunia ini tidak ada kehidupan.
Pemahaman ini telah sejak jaman kabuyutan di Jawa , dimasa kuno makuno, telah dengan sadar disadari sepenuhnya oleh para pinisepuh kita. Perayaan 1 Suro bisa dilakukan dibanyak tempat dan dengan berbagai cara. Itu tergantung dari kemantapan batin yang menjalani dan bisa juga sesuai dengan tradisi masyarakat setempat. 


Beberapa tempat  untuk memperingati 1 Suro
Banyak orang yang melakukan ziarah ketempat-tempat yang dipercaya mempunyai daya supranatural yang kuat. Banyak peziarah yang mendaki puncak Gunung Lawu disebelah timur Solo. Ribuan orang berada di pantai Parangtritis dan Parangkusumo di Yogyakarta, mereka melakukan “lek-lekan” artinya semalaman tidak tidur. Gunung Dieng juga dipenuhi banyak pengunjung untuk melakukan Suran.
Beberapa mata air, sendang dan sungai dipadati pengunjung untuk mandi sesuci ditengah malam. Tempat favorit adalah tempuran sungai, tempat bertemunya dua sungai menjadi satu . Tempuran sungai dipercaya mempunyai daya gaib/ enerji yang lebih kuat. Selain mandi, banyak yang berendam berlama-lama disungai, hanya kepalanya yang kelihatan dipermukaan air. Sesudah mandi atau berendam, mengadakan tirakatan dipinggiran sungai sampai pagi hari.
Makam-makam dan petilasan orang-orang tua bijak, raja, wali, pertapa yang terkenal, banyak didatangi peziarah untuk melakukan doa kepada Tuhan dan selanjutnya melakukan semedi, meditasi atau berzikir seperti yang dilakukan peziarah di petilasan Dlepih.
Banyak tempat dikota-kota dan berbagai desa mengadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk untuk mangayu bagyo 1 Suro, memperingati 1 Suro dengan menonton pertunjukan wayang kulit semalam suntuk, dimana hadirin akan menerima petunjuk-petunjuk yang berguna untuk kehidupan, meningkatkan moral dan mendalami ajaran spiritual .Bila didesanya atau didesa tetangga tidak ada pagelaran wayang kulit, biasanya penduduk desa berkumpul disatu tempat yang lapang atau dibalai desa untuk mendengarkan siaran wayang kulit dari radio.

Kamis, 28 Maret 2013

Kaweru Kasepuhan Sastra Jendra Hayuningrat dan Kejawen


Rahayu...!

Kejawen dalam pengertian yang umum mencakup budaya, tradisi, ritual, seni, sikap, mistik dan pandangan hidup/filosofi orang Jawa. Selain itu Kejawen juga berarti kebatinan atau Spiritualitas Jawa. Sedangkan Kaweruh Jendra Hayuningrat adalah salah satu aliran Pamencar Kaweruh Kasepuhan yang menganut aliran Sastra Jendra Hayuningrat dan menamakan diri dalam kelompok paguyubannya sebagai Pamencar Kaweruh Kasepuhan Sastra Jendra Hayunigrat atau Kaweruh Jendra Hayuningrat.

Perlu diketahui bahwa sebelum agama-agama besar masuk ke tanah Jawa, masyarakat Jawa telah mempunyai kepercayaannya sendiri yang sangat dihormati serta manembah-nya kepada Gusti Sang Akarya Jagat atau Gusti atau Pangeran, Tuhan Sang Pencipta Alam berikut segala isinya termasuk manusia.

Kaweruh Jendra Hayuningrat diturunkan secara turun temurun dari para leluhur. Orang Jawa pelaku Jendra sangatlah menghormati ajaran dan pesan pinisepuh yang bernilai tinggi dan bijak. Menurut kebiasaan kuno, pesan orang tua dijunjung tinggi ibarat pusaka, dijaga kebenaran dan kelestariannya agar tidak diselewengkan.

Pada mulanya Sastra Jendra Hayuningrat hanya di ajarkan dikalangan keluarga Keraton (Pusat pemerintahan jaman kerajaan tempo dulu),  Mengingat Sastra Jendra Hayuningrat adalah ilmu terlarang, yaitu ilmu yang tidak diperbolehkan sembarangan di ajarkan pada setiap orang.

Seiring dengan perkembangan jaman maka tingkat peradapan masyarakat saat itu mencapai titik terpuruk, baik secara moral maupun secara spiritual. Karena kurangnya pengetahuan mayarakat tentang pendidikan moral dan spiritual maka memicu munculnya kejahatan moral dimana-mana ( pemerkoasaan, pencurian, pembunuhan bahkan sampai pada tingkat pemberontakan kepemimpinan kerajaan pada saat itu ).

Menyikapi semua ini, sudah sepantasnyalah raja yang bertindak sebagai pemimpin masyarakat pada saat itu, dipandang perlu melakukan pengkajian dan penelitian serta ngelelimbang guna menemukan rumusan-rumusan bijak yang layak diajarkan terhadap masyarakat pada saat itu.

Datanglah pencerahan yang dialami oleh Raja dan para punggawanya yang pada saat itu telah bersusah payah untuk mendapatkan wangsit, guna menyelesaikan masalah moral dan spiritual yang dialami oleh kebanyakan masyarakat didalam lingkungan kerajaannya.

Setelah melalui rapat yang panjang dan dengan segala perdebatanya, maka pada akhirnya para resi dan penasehat kerajaan lainya menyerah kepada keputusan sang raja. Adapun hasil pencerahan dan keputusannya yaitu mengajarkan Sastra Jendra Hayuningrat dengan segala isi ilmunya kepada masyarakat kerajaan diluar pagar keraton.

Penyembahan kepada Gusti dilakukan dengan panembah, hening, samadi, ritual tradisional dan pralambang-pralambang yang semula menjadi ritual kerajaan. Namun sejak saat keputusan raja yang disampaikan kepada para resi dan para punggawa kerajaan untuk mengajarka Sastra Jendra di luar pagar kerajaan, maka secara bertahap raja mendaup ( mengangkat Pinisepuh ) yang ditugaskan untuk mengajarkan Kaweruh Jendra Hayuningrat ditengah-tengah masyarakat.

All hasil, peradaban masyarakat berubah drastis. Pemencaran ( penyebaran ) Kaweruh Jendra Hayuningrat pada saat itu menunjukan hasil, yaitu meningkatnya etika masyarakat menjadi lebih berbudi luhur, santun, andap-asor sampai berkurangnya tindak kejahatan moral ( percabulan, pencurian, judi dll) dan kejahatan spiritual ( Tenung, mantra, gendam dll).
Orang Jawa sejak sebelum diajarkannya Kaweruh Jendra Hayuningrat, memang tidak mengenal penyembahan berhala atau penyembahan yang diwujudkan dalam bentuk patung-patung Dewa. Karena raja-raja Jawa pada saat itu yang adalah menjadi panutan masyarakatnya, memang tidak perna mengajarkan penyembahan terhadap patung-patung berhala, karena para raja raja Jawa pada saat itu sudah mewarisi ilmu pengetahuan dari leluhurnya yaitu pengetahuan tentang ketuhanan melalui ajaran Kaweruh Jendra Hayuningrat, yang sama sekali tidak mengajarkan tentang penyembahan di luar Tuhan yang maha Gaib.


Kabeh agama iku apik/Semua agama itu baik

Sejak dulu, orang Jawa dan para pelaku Kaweruh Jendra Hayuningrat selalu bersikap toleran dan berwawasan luas terhadap pengetahuan lain. Oleh karena itu, masuknya agama-agama dari luar tanah Jawa diterima dengan baik dan tidak dihalang-halangi untuk berkembang. Hal ini sesuai dengan pandangan nenek-moyang Jawa bahwa : kabeh agama kuwi iku apik (semua agama itu baik).

Para pinisepuh Kaweruh Jendra Hayuningrat dari dulu yakin bahwa semua agama mengagungkan Tuhan Sang Pencipta , meskipun dengan tata-cara yang berlainan.
Jadi tidak ada alasan seorang pinisepuh Kaweruh Jendra Hayuningrat untuk melarang suatu agama atau kepercayan terhadap Tuhan YME.

Selain itu, setiap agama pada intinya menyebarkan ajaran dan tuntunan yang sangat mulia bagi para penganutnya , demi terwujudnya kehidupan yang damai dan sejahtera lahir bathin. Walaupun pada akhirnya Kaweruh Jendra Hayuningrat yang adalah Kaweruh aslinya orang-orang jawa, harus menjadi kepercayaan  asing di negerinya sendiri. Karena pada saat ini tidak banyak orang yang mau mengakui keberadaan Kaweruh Jendra Hayuningrat sebagai kaweruh asli bangsa yang perna turut andil dalam  mengisi sejarah berdirinya peradapban di pulau Jawa ini.....Rahayu!


Minggu, 24 Maret 2013

Jayabaya adalah sejarah atau legenda cerita rakyat

Nama Jayabaya sangat populer bukan hanya dikalangan orang tradisional Jawa, tetapi juga bagi orang Indonesia umumnya, itu semua dikarenakan adanya ramalan kuno yang disebut Jangka Jayabaya, yang ramalannya seputar kemerdekaan Indonesia 1945 – terbukti kebenaranya.


Indonesia merdeka didahului dengan masuknya tentara Jepang selama 3,5 tahun dengan mengusir kolonialis Belanda yang telah bercokol lebih dari 3.5 abad dinegeri ini. Dengan tepat pula meramalkan siapa Ratu, maksudnya Pemimpin , Presiden pertama R.I dan bagaimana perjalanan perjuangannya. Ramalan yang sering disebut Pralambang Jayabaya ini berlaku sampai dengan tahun 2150-an. ( maaf kalender suku Maya sudah berakhir tapi kalender Jangka Jayabaya masih berlaku....berarti gak jadi kiamat)


Isi ramalan Jayabaya adalah :
1.    Ramalan tentang perjalanan negara di Nusantara/Indonesia.
2.   Sikap ratu/pemimpin yang baik yang seharusnya dilakukan dan sikap jelek  yang  pantang dilakukan.
3.   Contoh perilaku ratu/pemimpin yang bisa jadi panutan.
4.   Sikap pamong/priyayi/birokrat dan tingkah laku manusia dimasyarakat pada saat tertentu.
5.    Gejolak alam, yaitu berbagai bencana alam termasuk wabah dan penyakit, perubahan iklim dan geologis/geografis. termasuk jebolnya Lapindo (  tambak segaran kedua )
6.    Watak dan tindakan manusia yang mempengaruhi kehidupan secara umum, keadaan negara dan perilaku alam.

Esensi pralambang Jayabaya mengandung nasehat yang bijak, bagaimana manusia  bisa hidup selamat sejahtera dengan berkah Tuhan. Tentu harus punya kesadaran yang tinggi, selalu berbuat baik terhadap sesama manusia, mahluk, bumi, alam dan menyadari kodratnya sebagai titah dari Sang Pencipta. Dengan berbudi luhur, manusia akan mengalami kehidupan di jaman Kalasuba,  yang serba baik,enak, makmur, tetapi kalau masih saja melanggar norma-norma baku kehidupan seperti moralitas, tata susila , maka masyarakat dan negeri ini akan berada pada jaman Kalabendu, yang serba nista, terpuruk, tidak karuan.Pada saat ini kita tidak mengupas ramalan ini, nanti pada kesempatan lain, karena masih banyak hal yang relevan, yang menarik untuk diketahui.


Siapa Jayabaya

Tentang siapa sebenarnya Jayabaya, ada beberapa pendapat yang bergulir. Yang jelas, ada persamaan pendapat, beliau adalah Prabu Jayabaya, seorang raja dari Kerajaan Kediri di Jawa Timur .

Ada yang berpendapat, sesuai dokumen sejarah bahwa Prabu Jayabaya adalah salah seorang raja Kediri diabad ke XI, dimana pada masa itu seni sastra , tari dan musik gamelan berkembang pesat.

Sementara itu ada pendapat lain terutama dari kalangan kebatinan, Kaweruh Jendra-pun ambil bagian dengan dawuh-dawuh Guru Sejati bahwa eksistensi Jayabaya adalah diabad ke IV di Kediri , Jawa Timur. Menurut sumber yang di catat dari hasil Dawuh Guru Sejati (Eyang Wongsojono), Kediri adalah kerajaan pertama di Jawa. Dari sini berpindah ke Jawa Tengah, tepatnya di Mataram Kuno disekitar Borobudur, Prambanan, lalu pindah lagi ke Jawa Timur di Jenggala, Kediri dan sekitarnya selanjutnya ke Sigaluh , Jawa Barat, lalu pindah lagi ke Jawa Timur yaitu Majapahit. Lalu pindah ke Jawa Tengah , yaitu Demak, Pajang, Mataram, diikuti jaman penjajahan Belanda, Jepang dan Nusantara merdeka.

Sebenarnya, penduduk pulau Jawa sejak jaman kabuyutan (sebelum datangnya pengaruh Hindu yang memperkenalkan sistim kerajaan), baik yang tinggal di Jawa bagian barat, tengah maupun timur itu sama saja. Baru kemudian  dalam perkembangannya muncul suku-suku dan pembagian daerah kediaman suku. Sebenarnya asal mulanya satu sebagai orang Jawa, orang yang menempati pulau Jawa.

Penduduk selalu mengikuti ratunya yang memindahkan pusat kerajaan.  Pernah di Banten, Pasundan, Mataram, Kediri, Majapahit, penduduk mengikuti ratu membangun negeri. Maklum jumlah penduduk pulau Jawa pada saat itu sedikit sekali.  Bekas negeri/kerajaan yang ditinggalkan penghuninya ketempat lain, menjadi hutan kembali. Kalau ada raja atau kepala daerah yang kejam, akan ditinggal pergi oleh kawulanya dan mereka pindah ketempat lain yang lebih baik.


Watak mulia Jayabaya

Semua pihak berpendapat bahwa Prabu Jayabaya sangatlah bijak, kuat tirakatnya dalam mengemban tugas negara. Untuk memecahkan persoalan negara yang pelik, Sang Prabu disertai oleh Permaisuri, Ratu Pagedhongan ( sering di sebut-sebut dalam bacaan mantra-mantra Jendra), disertai pula oleh beberapa menteri dan punggawanya yang terkait, melakukan perenungan/ngelelimbang di Padepokan Mamenang, memohon petunjuk Gusti, Tuhan.

Perenungan/ngelelimbang bisa berlangsung beberapa hari, minggu, bisa juga sebulan bahkan tahun, ini di lakukan demi mendapatkan jawaban/petunjuk dari Dewata Agung, mengenai langkah yang harus dilakukan demi kebaikan kawula dan negara.

Selama masa perenungan/ngelelimbang di Mamenang, Raja dan Ratu hanya menyantap sedikit kencur, kunyit dan temulawak (tiga buah sebesar jari telunjuk) dan minum secangkir air putih segar yang langsung diambil dari mata air, sehari cukup 2 atau  3 kali. Sedangkan para menteri hanya menyantap semangkok bubur jagung dan secangkir air putih setiap waktu makan. Dan setelah mendapatkan jawaban/solusi , Raja dan rombongan kembali ke istana di Kediri.

Sabdo Pandito Ratu

Di istana diadakan Pasewakan Agung , rapat kerajaan yang dipimpin raja, dikesempatan tersebut raja mengumumkan kebijakan yang diambil kerajaan dan yang mesti dijalankan dan ditaati seluruh pejabat dan kawula.

Apa yang diputuskan dan telah diucapkan oleh raja didepan rapat itu, disebut Sabdo Pandito Ratu atau Sabdo Brahmono Rojo, harus diterima  dan dilaksanakan oleh semua pihak termasuk oleh raja sendiri. Jadi, seorang raja/pemimpin itu harus memenuhi janjinya dan apa yang diucapkan harus ditepati, tidak boleh mencla-mencle , cedera janji.
Ini adalah salah satu falsafah kepemimpinan Kejawen yang sudah dikenal sejak dari masa lampau. Rahayu...!




Jumat, 22 Maret 2013

Pencerahan Bag 3 (Selesai)

Rahayu....!
TINGKAT 3 (Nung; sembah cipta)
Pencerahan
Kesinungan ; yakni dipercaya Tuhan untuk mendapatkan anugrah tertentu. Orang yang telah mencapai tataran Kesinungan dialah yang mendapatkan “hadiah” atas amal kebaikan yang ia lakukan. Ini mensyaratkan amal kebaikan yang memenuhi syarat, yakni kekompakan serta sinkronisasi lahir dan batin dalam mewujudkan segala niat baik menjadi tindakan konkrit. Yakni tindakan konkrit dalam segala hal yang baik misalnya membantu & menolong sesama. Syarat utamanya; harus dilakukan terus-menerus hingga menyatu dalam prinsip hidup, dan tanpa terasa lagi menjadi kebiasaan sehari-hari.

Pencapaian tataran ini sama halnya laku hakekat. Laku hakekat adalah meliputi keadaan hati dan batin; sabar, tawakal, tulus, ikhlas, pembicaraannya menjadi kesejatian (kebenaran), yang sejati menjadi kosong, hilang lenyap menjadi ada. Tataran ini ditandai oleh pencapaian kemuliaan yang sejati, seseorang mendapatkan kebahagiaan dan kemuliaan di dunia dan kelak setelah ajal. Pada tahap ini manusia sudah mengenal akan jati dirinya dan mengenal lebih jauh sejatinya Tuhan. Manusia yang telah lebih jauh memahami Tuhan tidak akan berfikir sempit, kerdil, sombong, picik dan fanatik. Tidak munafik dan menyekutukan Tuhan. Ia justru bersikap toleran, tenggang rasa, hormat menghormati keyakinan orang lain. Sikap ini tumbuh karena kesadaran spiritual bahwa ilmu sejati, yang nyata-nyata bersumber pada Yang Maha Tunggal, hakekatnya adalah sama. Cara atau jalan mana yang ditempuh adalah persoalan teknis. Banyaknya jalan atau cara menemukan Tuhan merupakan bukti bahwa Tuhan itu Mahaluas tiada batasnya. Ibarat sungai yang ada di dunia ini jumlahnya sangat banyak dan beragam bentuknya; ada yang dangkal, ada yang dalam, berkelok, pendek dan singkat, bahkan ada yang lebar dan berputar-putar. Toh semuanya akan bermuara kepada Yang Tunggal yakni “samudra luas”.

NAH, orang seperti ini akan “menuai” amal kebaikannya. Berkat rumus Tuhan di mana kebaikan akan berbuah kebaikan pula. Kebaikan yg anda berikan, “buahnya” akan anda terima pula. Namun demikian kebaikan yang anda terima belum tentu datang dari orang yang sama, malah biasanya dari pihak lainnya. Kebaikan yang anda peroleh itu merupakan “buah” dari “pohon kebaikan” yang pernah anda tanam sebelumnya. Selebihnya, kebaikan yang anda lakukan akan menjadi pagar gaib yang selalu menyelimuti diri anda. Singkat kata, pencapaian Nung, ditandai dengan diperolehnya kemudahan dan hikmah yang baik dalam segala urusan. Pagar gaib itu akan membuat kita tidak dapat dicelakai orang lain. Sebaliknya selalu mendapatkan keberuntungan. Dalam terminologi Jawa inilah yang disebut sebagai “ngelmu beja”.

Untuk meraih tataran ini, terlebih dahulu kita harus mengenal jati diri secara benar. Dalam diri manusia setidaknya terdapat 7 lapis bumi yang harus diketahui manusia. Jika tidak diketahui maka menjadi manusia cacad dan akan gagal mencapai tataran ini. Bumi 7 lapis tersebut adalah ; retna, kalbu, jantung, budi, jinem, suksma, dan ketujuhnya yakni bumi rahmat.
1. Bumi Retna; jasad dan dada manusia sesungguhnya istana atau gedung mulia.
2. Bumi Kalbu; artinya istana iman sejati.
3. Bumi Jantung; merupakan istana semua ilmu.
4. Bumi budi; artinya istana puji dan zikir.
5. Bumi Jinem; istananya kasih sayang sejati.
6. Bumi suksma; yakni istana kesabaran dan rasa sukur kepada Tuhan; sukma sejati.
7. Bumi Rahmat; istana rasa mulia; rahsa sejati.

Titik Lemah Seseorang yang mengalami Pencerahan
pada tataran Ketiga

Nung, setara dengan Hakekat, di sini ibarat puncak kemuliaan. Semakin tinggi tataran spiritual, maka sedikit saja godaan sudah dapat menggugurkan pencapaiannya. Maka, semakin tinggi puncak dan kemuliaan seseorang ; maka semakin besar resiko tertiup angin dan jatuh. Seseorang yang merasa sudah PUAS dan BANGGA dengan pencapaian hakekat ini bersiko terlena. Lantas menganggap orang lain remeh dan rendah. Yang paling berbahaya adalah menganggap tataran ini merupakan tataran tertinggi sehingga orang tidak perlu lagi berusaha menggapai tataran yang lebih tinggi.


Tingkat 4 (Nang; sembah rahsa)

Nang merupakan kemenangan. Kemenangan adalah anugrah yang anda terima. Yakni kemenangan anda dari medan perang. Perang antara nafsu negatif dengan positif. Kemenangan NUR (cahya sejati nan suci) mengalahkan NAR (api; ke-aku-an/”iblis”), dalam kepercayaan Kristen atau Katholik disebut Lucyfer. Manusia NAR adalah seteru Tuhan (iblis laknat). SEBALIKNYA; manusia NUR adalah memenuhi janji atas kesaksian yg pernah ia ucapkan di mulut dan hati. Manusia NUR memenuhi kodratnya ke dalam kodrat Ilahi, sipat zat yg mengikuti sifat hakekat, menselaraskan gelombang batin manusia dengan gelombang energi Tuhan. Sifat zat (manusia) menyatu dengan sifat hakekat (Tuhan) menjadi “loroning atunggil“. Yang menjadi jumbuh (campur tak bisa dipilah) antara kawula dengan Gusti. Inilah pertanda akan kemenangan manusia dalam “berjihad” yang sesungguhnya. Yakni kemenangan terindah dalam kemanunggalan; “manunggaling kawula-Gusti“. Bila Anda muslim, di situlah tataran makrifat dapat ditemukan. Jika anda Kristen atau Katholik anda sudah dalam kondisi Kepenuhan Roh. Jika anda seorang Budhis atau Hindu anda berada dalam tataran Nirwana atau Adman. Rahayu....!