Senin, 04 November 2013

Gamelan di Tepi Pantai




( Hikmah 1 Suro 1947 thn Alip)
Oleh Budi Siswanto
Sebuah Padepokan dibangun di suatu pulau, tiga kilometer jauhnya dari pantai. Dalam Padepokan itu terdapat seperangkat gamelan. Gong alat tabuh  yang besar, bonang dan kenong yang kecil, semuanya dibuat oleh pengrajin-pengrajin terbaik di dunia. Setiap kali angin bertiup atau taufan menderu, semua gongso di Padepokan serentak berbunyi dan secara terpadu membangun sebuah simponi. Hati setiap orang yang mendengarkannya terpesona.

Tetapi selama berabad-abad pulau itu telah tenggelam di dalam laut, demikian juga Padepokan bersama dengan gongso-gongso-Nya.

Menurut cerita turun-temurun gongso-gongso itu masih terus berbunyi, tanpa henti dan dapat didengar oleh setiap orang yang mendengarkannya dengan penuh perhatian. Tergeraklah oleh cerita ini, seorang pemuda menempuh  perjalanan sejauh beratus-ratus kilometer. Tekadnya telah bulat untuk mendengarkan bunyi gongso-gongso itu. Berhari-hari ia duduk di pantai, berhadapan dengan tempat di mana Padepokan itu pernah berdiri dan berusaha untk mendengarkan sesuatu seperti apa yang di ceritakan oleh banyak orang,  mendengarkan dengan penuh  perhatian. Tetapi apa yang dia dapatkan?...ternyata yang dia dengar hanyalah suara gelombang laut yang memecah di tepi pantai. Ia suadah berusaha mati-matian untuk menyisihkan suara gelombang itu supaya dapat mendengar bunyi gongso seperti yang di ceritakan banyak orang. Namun sia-sia.... Suara laut sajalah rupanya yang memenuhi alam raya.

Ia bertahan sampai berminggu-minggu. Ketika semangatnya mengendor, ia mendengarkan orang tua-tua di kampung. Dengan terharu mereka menceritakan kisah seribu gongso dan kisah tentang mereka yang telah mendengarnya. Dengan demikian ia semakin yakin bahwa kisah itu memang benar. Dan semangatnya berkobar lagi, apabila mendengar kata-kata mereka ... tetapi kemudian ia kecewa lagi, kalau usahanya selama berminggu-minggu ternyata tidak menghasilkan apa-apa.

Akhirnya ia memutuskan untuk mengakhiri usahanya. Barangkali ia tidak ditakdirkan menjadi salah seorang yang beruntung dapat mendengar  bunyi gongso-gongso di Padepokan yang telah muksa di telan laut itu. Mungkin juga legenda itu hanyalah omong kosong belaka. Lebih baik pulang saja dan mengakui atas kegagalannya, demikian lebih baik pikirnya.

Pada hari terakhir ia duduk di pantai, tepat berada di tempat yang paling dia sayangi. Ia berpamitan kepada laut, langit, angin serta pohon-pohon kelapa. Ia berbaring di atas pasir, memandang langit, mendengarkan suara laut. Pada hari itu ia tidak berusaha menutup telinganya terhadap suara laut, melainkan menyerahkan dirinya sendiri kepada-Nya. Dan ia pun menemukan suara yang lembut dan menyegarkan di dalam gelora gelombang laut. Segera ia begitu hanyut dan tenggelam dalam suara itu, sehingga ia hampir tidak menyadari dirinya lagi. Begitu dalam keheningan yang ditimbulkan suara gelombang dalam hatinya. 

Di dasar keheningan itu, ia mendengarnya! Dentang bunyi satu gongso disambut oleh yang lain, oleh yang lain lagi dan oleh yang lain lagi ... dan akhirnya seribu gongso dari Padepokan itu berdentangan dengan satu melodi yang agung berpadu. Dalam hatinya meluap rasa kagum dan gembira.

Jika engkau ingin mendengar gongso-gongso di Padepokan yang telah lenyap itu, dengarkanlah suara laut.
Jika engkau ingin melihat Tuhan, pandanglah ciptaan dengan penuh perhatian. Jangan menolaknya, jangan memikirkannya...........Pandanglah saja.
 _()_ Rahayu