Minggu, 16 Februari 2014

LEGENDA GUNUNG KELUD


Gunung Kelud terbentuk karena pengkhianatan cinta Putri Jenggala, Dewi Kilisuci, terhadap Mahesa Suro dan Lembu Suro. Dewi Kilisuci yang cantik jelita dilamar oleh kedua raja sakti dari bangsa siluman berkepala sapi (lembu) dan berkepala kerbau.




 
Namun untuk menolak secara langsung, sang putri tidak tega. Oleh karena itu Dewi Kilisuci membuat sayembara yang tidak mungkin dipenuhi. Sayembara itu adalah membuat dua sumur di atas puncak Gunung Kelud. Bukan sumur biasa, karena satu sumur harus berbau amis dan satu lainnya berbau wangi. Lebih gila lagi, pekerjaan tersebut harus selesai dalam satu malam, dari matahari terbenam hingga ayam berkokok.

Merasa yakin dengan kesaktiannya, Mahesa Suro dan Lembu Suro sanggup menyelesaikan tugas tersebut. Dalam waktu semalam, keduanya berhasil memenuhi syarat yang diajukan sang putri. Namun Dewi Kilisuci tidak langsung menerima lamaran dua bersaudara tersebut.

Dia kembali mengajukan satu permintaan, yaitu Lembu Sura dan Mahesa Suro harus membuktikan bahwa kedua sumur tersebut benar benar wangi dan amis dengan cara harus masuk ke dalam sumur. Dewi Kilisuci berjanji saat keduanya masuk sumur, dia akan menyiapkan pesta pernikahan yang mewah.

Terpesona dengan iming-iming sang putrid, Lembu Suro dan Mahesa Suro pun masuk ke dalam sumur yang sangat dalam itu. Begitu keduanya sampai di dasar sumur, Dewi Kilisuci segera memerintahkan prajurit Jenggala untuk menimbun sumur dengan batu. Mahesa Suro dan Lembu Suro pun mati di dasar sumur.

Namun, sebelum mati Lembu Suro bersumpah suatu saat nanti dia akan membalas perlakuan itu. Dia akan keluar menyebarkan batu dan api, sehingga Kediri akan menjadi sungai, Blitar menjadi daratan, dan Tulungagung menjadi danau.

Untuk menggagalkan sumpah tersebut, masyarakat lereng Gunung Kelud selalu melakukan ritual Larung Sesaji sebagai tolak bala yang digelar setiap tanggal 23 bulan Suro oleh masyarakat Sugih Waras di lereng Gunung Kelud.

Desa ini merupakan pemukiman penduduk yang paling dekat dengan lereng Gunung Kelud. Sejak dahulu, secara turun termurun warga setempat selalu mempersembahkan sesaji di tepi kawah. Tapi, sejak muncul anak gunung di kawah, ritual Larung Sesaji dipindah ke kaki anak gunung.

Syarat utama larung tersebut adalah cok bakal dan jenang sengkala. Syarat ini pernah dilanggar pada tahun pada 2007. Ketika itu, sesaji larung kurang lengkap. Alhasil, ritual sesaji yang dilakukan itu hampir membawa bencana.

Apalagi ritual dilakukan di bulan Ruwah yang menurut perhitungan Jawa kurang baik untuk larung sesaji. Untuk mencegah kemungkinan buruk dari marahnya Gunung Kelud, masyarakat setempat pun menggelar selamatan lagi.

Terbukti, tahun 2007 Gu­nung Kelud meletus dengan letusan terakhir bersifat efusif (mengalirkan material), berbeda dari latusan sebelumnya yang bersifat eksplosit (menyemburkan material).

Pada letusan tahun 2007 itu, danau kawah Gunung Kelud yang berwarna hijau berubah menjadi kubah lava yang mengalirkan material berwarna hitam dari dalam perut gunung. Ketinggian kubah ketika itu mencapai 250 meter dengan lebar sekitar 400 meter.

Satu hal lagi, Gunung Kelud ternyata juga mempunyai “kebiasaan” unik. Entah kebetulan atau tidak, namun Gunung Kelud selalu meletus pada hari pasaran Wage, yaitu hari keempat dalam kalender Jawa. Lihatlah, letusan kali ini terjadi pada Kamis (13/2) yang menurut penghitungan masyarakat Jawa sudah masuk Jumat Wage.

Keunikan lagi, Kelud biasa meletus pada malam hari. Selain itu, sebelum meletus gunung ini selalu memberi tanda dengan suara gemuruh, seolah mengingatkan warga sekitar gunung untuk menyelamatkan diri. Warga setempat juga sudah hapal jika Gunung Kelud akan meletus biasanya ada dua sorot sinar terang masuk ke kawah. Selain itu akan terlihat pula banyak burung gagak berterbangan di pedesaan.

Lebih unik lagi, angka tahun meletusnya Gunung Kelud ini juga menarik karena selalu mengiringi peristiwa besar yang akan, sedang, dan telah terjadi di Tanah Jawa (Indonesia). Letusan besar pada tahun 1951 misalnya, menandai peristiwa pemberontakan Madiun.

Lalu erupsi tahun 1966 seperti menandai terjadinya G30S/ PKI. Nama Gunung Kelud berasal dari Jarwodhosok, yakni dari kata “ke” (kebak) dan “lud” (ludira). Artinya, jika gunung ini murka akan bisa merenggut banyak korban. Banyak warga setempat yang percaya bahwa kawah Gunung Kelud dijaga sepasang buaya putih. (Dari berbagai sumber).