Sabtu, 16 Mei 2015

Tuntunan Membangkitkan Jiwa

Lakukan Sebelum Masuk Dalam Meditasi Pertobatan
Oleh Budi Siswanto

Saran bagi semua siswa Jendra dan simpatisan : Sebaiknya tuntunan ini di jadikan pembangkit jiwa saat akan menjalankan syare’at ke-agama-an seperti ke masjid (sholat), ke Gereja, Ke Kuil, ke Pure ataupun meditasi rutin lainnya.

Ø Sentuh dada sebelah kiri dengan jari telunjuk atau jari tengah, tepatnya 2 jari dari tulang belikat. Tusuk-tusuklah dengan jari tersebut maka, Anda akan menemuan bagian dada yang terasa sakit (dalam bahasa Jawa : njarem). Pada umumnya, semakin berat problem seseorang, bagian tersebut akan terasa sangat sakit sekali, hingga menyerupai orang yang sedang masuk angin. (setelah ditutup dengan telapak tangan lalu tutuplah mata Anda)

Ø Jika Anda sudah menemukan bagian yang sakit dari dada sebelah kiri tersebut, tutuplah dengan telapak tangan kanan Anda.

Ø Lakukan Tarik Nafas Pelan-pelan dalam 3x hitungan lalu tahan sejenak dan lepaskan, ulangi sebanyak (3x).

Ø Ucapkanlah mantra ini sambil bersuara :

(tarik nafas panjang hingga 5x hitungan dan lepaskan) sekali lagi tarik nafas panjang dan ikuti apa yang saya ucapkan.

Aku sayang pada diriku sendiri, biarlah yang lalu terus berlalu.
Masa-depanku lebih penting, duhai diriku, tetaplah tersenyum, tetaplah bahagia.

Aku melihat diriku yang ceria itu, dan aku melihat diriku yang bahagia itu, itulah diriku yang sesungguhnya. Aku ingin kembali, kemanakah aku selama ini?

Aku sangat berharga, aku ini di-inginkan oleh Tuhan.
Masa depanku penting, keluargaku juga penting. Hidupku ini sangat penting.

Oleh karena itu hal-hal yang tidak penting tidak boleh mengganggu aku.
Perasaan-perasaan yang tidak berharga, aku letakkan dan aku tinggalkan...(tarik nafas 1x hitungan dan lepaskan).
Demi kebahagiaanku, demi ketenangan hidupku, aku ihklaskan semua masa-laluku,

Bukan aku kalau tidak ihklas.
Aku letakan dan aku lepaskan, agar ringan langkahku, agar sehat badanku, agar indah masa depanku.

Ya Tuhan, mudahkanlah kebahagiaanku, semudah tarikan nafasku.

Hai diriku, tetaplah tersenyum, tetaplah bahagia
(tarik nafas panjang hingga 5x hitungan dan lepaskan).

 (Inilah diri Anda yang sesungguhnya. bukalah mata Anda, membawa rasa bahagia, membawa rasa syukur membawa rasa positif.)


Salam _/|\_ Rahayu

Jumat, 08 Mei 2015

Kisah berdirinya Kerajaan Mataram




Oleh Budi Siswanto

Gonjang-ganjing di Kesultanan Yogyakarta (Ngayogyakarta Hadiningrat) yang terjadi belakangan ini membuat masyarakat ingin tahu sejarah berdirinya kerajaan tersebut. Bagaimana kisahnya?

Kesultanan Yogyakarta merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Islam yang terpecah menjadi dua; Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.

Kisah berdirinya Kerajaan Mataram Islam diawali dengan pemberian daerah kekuasaan (Alas Mentaok) dari Kesultanan Pajang (Sultan Hadiwijaya) terhadap Ki Ageng Pamanahan, setelah berhasil mengalahkan musuhnya, Aryo Penangsang.
Kemudian, pada Tahun 1577, Ki Ageng Pamanahan membuat sebuah keraton di daerah Kota Gede sebagai pusat pemerintahan, hingga beliau wafat pada Tahun 1584, sebagai pengikut setia Kasultanan Pajang.

Setelah Ki Ageng Pamanahan mangkat, Kerajaan Mataram dilanjutkan oleh puteranya, yakni Danang Sutawijaya. Namun, Danang Sutawijaya konon tidak mau tunduk dan patuh kepada Kesultanan Pajang.
Justru, Sutawijaya berniat menghancurkan Kesultanan Pajang untuk memperluas wilayah kekuasaan Mataram. Dalam versi lain, Danang Sutawijaya semata-mata hanya ingin lepas dari dominasi Kesultanan Pajang.

Akhirnya Sultan Pajang mengetahui niat tersebut dan memutuskan menyerang Mataram pada 1587. Namun, tanpa disangka, saat pasukan Kesultanan Pajang hendak menyerang Mataram, terkena dampak letusan Gunung Merapi, hingga akhirnya pasukan Kesultanan Pajang kewalahan (hancur).

Dalam versi lain pula disebutkan, pasukan Kesultanan Pajang kalah saat melawan pasukan Danang Sutawijaya dan Mataram. Setahun kemudian, Mataram menjadi sebuah kerajaan & Sutawijaya mentabiskan diri sebagai Raja Mataram berdaulat dengan gelar Panembahan Senopati. Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama yang berarti Panglima Perang & Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.

Mulai saat itu, Kerajaan Mataram berkembang pesat menjadi sebuah kerajaan yang besar & menjadi penguasa Pulau Jawa yang besar dan disegani. Setelah mangkatnya Panembahan Senopati pada 1601, Raja Mataram selanjutnya digantikan oleh puteranya yang bernama Mas Jolang dikenal juga dengan gelar Panembahan Seda ing Krapyak.

Setelah wafat pada 1613, Mas Jolang digantikan lagi oleh putranya, yaitu Pangeran Arya Martapura dan dilanjutkan oleh kakaknya, yakni Raden Mas Rangsang yang juga lebih dikenal sebagai Prabu Pandita Hanyakrakusuma, dan bergelar Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman.
Pada masa Kekuasaan Raden Mas Rangsang (Sultan Agung) inilah kerajaan Mataram berada pada puncak kejayaannya dan berkembang dengan sangat pesat di segala bidang.

Kerajaan Mataram semakin kuat dan makmur sampai akhirnya Sultan Agung mangkat dan digantikan oleh puteranya, yaitu Amangkurat I pada tahun 1645. Masa kejayaan Kerajaan Mataram akhirnya mengalami kemunduran.

Kejadian-kejadian yang berbau konflik perebutan kekuasaan dari dalam maupun luar istana, akhirnya meruntuhkan Kerajaan Mataram. Situasi ini dimanfaatkan penjajah VOC (Belanda) untuk memecah belah kerajaan dengan adanya Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755.

Perjanjian Giyanti ini memutuskan untuk membagi kekuasan Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Dalam perjanjian itu, juga menetapkan Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan di Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I.
Sekitar satu bulan setelah Perjanjian Giyanti, Sri Sultan HB I yang pada saat itu tinggal di Pesanggrahan Ambar Ketawang mendirikan sebuah keraton di pusat Kota Yogyakarta, yang kini menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta.

Pemerintah Hindia Belanda mengakui Kasultanan Yogyakarta sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan di dalam kontrak politik. Kontrak politik terakhir Kasultanan Yogyakarta tercantum dalam Staatsblad 1941, No. 47.

Lalu, apa yang dimaksud dengan Perjanjian Giyanti? Perjanjian Giyanti adalah kesepakatan antara Belanda, pihak Mataram (diwakili oleh Sunan Pakubuwono III), dan kelompok Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian ini, Kelompok Pangeran Sambernyawa tidak dilibatkan.
Dikisahkan pula, dalam perjanjian ini, Pangeran Mangkubumi memutar haluan menyeberang dari mendukung kelompok pemberontak, dan bergabung dengan kelompok pemegang legitimasi kekuasaan yang memerangi pemberontak, yaitu Pangeran Sambernyawa. (Sumber : Kompasmania.com)

Selasa, 28 April 2015

Belajar Ilmu Ghaib, Maka Anda Sulit Mati! Benarkah ungkapan ini?



Oleh Budi Siswanto
Album Belajar Kebathinan


Kata beberapa orang, apabila kita belajar ilmu-ilmu spiritual yang bersifat ghaib akan berakibat menyusahkan dirisendiri ketika akan meninggal dunia kelak. Tersiksa di ambang sakaratul maut. Betulkah demikian?

Tulisan ini merupakan sebuah wacana, mengurai kondisi penyebab sebenarnya “susah mati” itu. Semoga bermanfaat untuk pembaca sekalian yang ingin mulai menapaki dunia spiritual maupun yang telah mendalaminya.
Apabila kita mengandalkan ilmu dan menganggap bahwa semua khasiat yang terjadi adalah semata-mata dari ilmu tersebut. Lalu menyakini bahwa ilmu ini-ilmu itu sakti. Maka tanpa kita sadari sebenarnya diri kita telah terlena oleh kehebatan ilmu dan sejatinya kita telah lupa kepada kuasa Tuhan YME.
Akhirnya ketika tiba saatnya datang ujian dari Tuhan berupa musibah, masalah, problem hidup maka diri kita merasa aman. Merasa bahwa masalah apapun itu jenisnya akan dapat diatasi dengan khasiat ilmu-ilmu tadi. Rasa aman karena mengantungkan diri kepada kehebatan ilmu itulah yang merupakan kesesatan.
Menurunkan kadar ketaqwaan kita kepada Tuhan YME. Bukankah seharusnya hanya Tuhan tempat bergantung segala harapan dan segala sesuatu dialam semesta ini?? cobalah tengok Surat Al-ikhlas.
Beruntunglah bila kita senantiasa diberi anugerah selalu mawas diri dan waspada dari segala hal yang membuat terlenanya hati. Namun bila kita tidak menyadarinya, akibat dari rasa aman menggantungkan diri kepada kehebatan ilmu tersebut membuat kita akan semakin lalai untuk berharap (berdoa) secara sungguh-sungguh kepada Tuhan YME.
Berdoa hanya sekedar formalitas dalam ucapan / rapalan saja. “Toh, nanti masalah ini juga dapat diselesaikan dengan ilmu ini atau ilmu itu..” begitulah kira-kira yang muncul dalam benak pikiran. Apabila sudah demikian keadaannya maka dapat dipastikan diri sang pengamal ilmu akan semakin jauh dari penghambaan kepada Tuhan. Sebaliknya cenderung lebih percaya dengan ilmunya, lebih yakin dengan kesaktiannya, menghamba kepada khasiat-khasiat ilmu dunia yang fana. Terjangkitlah sifat Takabur (melupakan kuasa Tuhan).
 
Jika penyakit hati ini mengendap semakin larut dalam hati, maka ketika tiba saatnya nanti tanda-tanda datangnya Malaikat Maut pencabut nyawa hendak memisahkannya dari kehidupan dunia. Sang pengamal ilmu akan ketakutan luar biasa, tidak ikhlas, tidak ridho. Secara otomatis ia akan berharap kepada ilmunya dengan segala kehebatannya dapat menyelesaikan perkara ini. Karena selama hidupnya memang sudah terbiasa menggantung-kan diri seperti itu.
Padahal kita tahu bahwa perkara yang satu ini tidak dapat diselesaikan dengan ilmu-ilmu itu. Semua itu hanyalah harapan kosong, hanya membuat semakin tersesat dalam kegelapan, hanya membuat semakin takut mati. Lebih rindu dunia daripada negeri akhirat. Lebih percaya ilmunya daripada Tuhan. Maka semakin tersiksalah jiwanya diambang pintu kematian. Jiwanya merintih sementara tubuhnya kesakitan dan kepayahan.
Jadi, sebenarnya keadaan “susah mati” yang biasa dialami oleh para pengamal ilmu ghaib itu karena hal itu tadi. Takabur dan terlalu cinta dunia yang membuatnya tidak ikhlas terhadap takdir Tuhan. Bukan karena ilmu ghaibnya yang dipahami seperti tarik menarik antara khadam Ilmu (JIN) dengan Malaikat yang sedang memperebutkan arwah sang pengamal ilmu itu. Tidak pernah ada cerita orang mati bisa hidup lagi gara-gara Khadam ilmu kesaktiannya telah mengalahkan Malaikat Maut!? Karena memang tidak pernah terjadi kejadian “tarik-menarik” itu. Tercabutnya ruh dari jasad seseorang adalah dimensi mutlak Malaikat Maut. Tidak ada makhluk lain yang bisa menghalangi Malaikat yang mengemban tugas dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Andai saja jiwa dan hati kita terbiasa dengan penghambaan kepada Tuhan, hanya menggantungkan harapan kepada-NYA, berdoa yang baik kepada-NYA dengan melalui ilmu-ilmu spiritual. Menyandarkan segala macam doa, mantera, ajian, hizib, ratib, wirid atau apapun itu namanya hanya kepada kuasaNYA niscaya, hati ini akan lebih percaya dan ikhlas terhadap kehendak & takdirNYA hingga akhir hayat nanti.
Maka dari itu belajar ilmu spiritual juga membutuhkan pengkajian. Tidak hanya sekedar mengamalkan ilmu dan merasakan daya manfaatnya. Dengan harapan semoga nantinya dapat meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan YME. Karena seperti kata para pisepuh :
“Kaweruh kang Sejati ora bakal nyiwak Gusti”
Jadi jangan takut untuk belajar ilmu spiritual. Selama dibimbing dengan baik dan benar oleh orang-orang yang benar.

Salam _/|\_ Rahayu


Selasa, 03 Februari 2015

Kraton (Yogya) sebagai Pancering Urip Umat Manusia



(Dhawuh Eyang Wongsojono, oleh : Budi Siswanto)

Di mata orang Jawa, Kraton itu kramat. “Kawula ajrih kuwalat” begitulah jawab setiap punggawa dan abdi dalem keraton jika diminta untuk berbuat semaunya di lingkungan Kraton. Kawula selalu berasumsi bahwa raja itu memiliki kuluk kanigara, yaitu makutha yang esensinya memuat kewibawaan. Makutha menyimpan hal-hal yang ”the seen” dan ”unseen worlds”. Yang kasatmata, makutha itu benda berharga. Yang ada di balik barang itu, adalah lambang kesaktian, kekuasaan, sebagai warisan pusaka Kiai Jaka Piturun. Maka ketika dipimpin raja, kawula rumangsa adhem ayem, tentrem lan tenang.
Kraton adalah pusat rasa Jawa. Rasa hakiki yang hidup di dataran nalar Jawa adalah rasa njaba dan rasa njero. Kedua rasa ini menep (merasuk) dalam candrasengkala memet regol kemagangan yang berbunyi: Dwi Naga Rasa Tunggal (1682). Dwi Naga Rasa Tunggal artinya dua naga yang tubuhnya (sarira) dipadukan hingga muncul ungkapan mistik manunggaling kawula-Gusti.
Dalam konteks manunggal ini, ditunjukkan oleh ungkapan sarira tunggal atau sari-rasa-tunggal. Maksudnya, kawula-Gusti itu hakikatnya satu rasa (madu rasa). Keinginan kawula untuk selalu manunggal dengan Gusti disebut madu brangta.

Tribuwana
Sebelum berdiri Kraton, yang ada hanyalah berupa hutan belantara. Hutan itu bernama Garjitawati. Garjita artinya kesadaran total manusia. Kesadaran itu melahirkan pemikiran jernih dan wening. Wati artinya kaya, banyak, luas, dan Garjitawati adalah hutan yang menyimbolkan kesadaran kuat. Maka Sri Sultan HB I memandang tepat Kraton Yogya berdiri di atas bumi harum itu. Dari sini kesadaran kosmis muncul di benak kawula-Gusti Yogya, karena tata letak simbolik imajiner Kraton. 

Kosmologi Kraton Yogya tidak terlepas dari pandangan dunia Kejawen. Masyarakat kejawen berpikir tentang kosmologi Jawa melalui pepangkataning dumadi yang disebut Tribuwana, terdiri atas Guru loka (baitul makmur), Endra loka (baitul muharam), dan Jana Loka (baitul muqadas). Guru loka dalam posisi Kraton diwakili oleh Gunung Merapi. Gunung berada diutara (lor, utama), luhur. Posisi tengah yaitu Endra loka. Endra artinya raja. Raja kehidupan tidak lain hati (rasa sejati). Adapun Jana loka adalah gambaran kawula, rendah, dan bawah. Ketiga ranah filosofi-kosmis ini yang memposisikan Kraton sebagai sentral.

Pemikiran kosmologi Jawa demikian berkembang lagi, dari posisi Tribuwana menjadi Pancabuwana. Konsep Pancabuwana tetap meletakkan Kraton sebagai pusat. Pancabuwana memuat keblat papat lima pancer. Artinya, bahwa buwana manusia selalu dilingkupi oleh empat anasir dan Kraton sebagai sentral (pancer) kehidupan. Kraton Yogyakarta secara kosmis diapit oleh empat anasir kiblat, yaitu Kampung Gandamanan (Timur), Kampung Krapyak (selatan), Barat (Kampung Wirabrajan), Utara (Kampung Jetis). Makna filosofi Kampung Gandamanan ini jika ditarik ke utara lurus, simetris dengan Kampung Gandalayu (timur Tugu). Adapun Kampung Wirabrajan jika ditarik lurus ke utara muncul Kampung Pingit, sebelah barat Tugu. Jadi garis imajiner Kraton ke Tugu menandai bahwa Kraton itu diapit oleh dua nama kampung yang melambangkan hidup (Pingit, berarti suci) dan mati `jg(Gandalayu, artinya bau bangkai). Hal ini ditandai pula, bahwa Kampung Pingit itu dialiri sungai Winanga dan Kampung Gandalayu dialiri Sungai Code. Winanga, berasal dari bahasa Jawa winong, artinya paham, ketahuilah, dekatkanlah dengan Hyang Winong yaitu Tuhan. Sebaliknya, jauhilah yang jelek, berbau bangkai, yang dilambangkan Sungai Code (dalam bahasa Jawa, cocode, kejelekan).

Jika posisi Pancabuwana tersebut dilukiskan, akan tampak bahwa Kraton adalah sumber kasekten. Sakti berarti hangabehi, di dalamnya muncul Dzating Pangeran melalui sebuah proses emanasi. Kosmologi keblat papat lima pancer, Kraton tergambar sebagai kuthagara berada pada posisi tengah, isinya suwung (titik nol), menjadi fakta hakiki (ultimate reality), hari pasarannya Kliwon, multiwarna, dan dewanya Manikmaya (bathara Guru). Sebelah timur dibatasi oleh negaragung, sebagai fakta emanen, sebagai purwaning dumadi (jagad kawitan). Makanya kalau semadi orang Jawa selalu berusaha menghadap ke timur, pasarannya Legi, dibatasi negaragung brang wetan, warnanya putih, disimbolkan anasir air, dewanya Wisnu. Sebelah selatan adalah fakta eksistensial, berwarna merah, pasaran Paing, dibatasi Laut Selatan, dan dewanya Kala. Sebelah barat pasarannya Pon, dibatasi negaragung brang kulon, berwarna kuning, sebagai fakta transenden, dewinya Sri. Sebelah utara hari pasarannya Wage, warnanya hitam, dibatasi Gunung Merapi, dewanya Narada, sebagai fakta esensial.
 
Kosmologi Kraton demikian terkait dengan sebutan ning-rat. Ning artinya jernih dan rat (dunia, kosmos). Kejernihan berpikir tentang dunia (kosmos) oleh kesakralan Kraton. Di mata orang Jawa Kraton tetap sebagai mandala yang gawat keliwat-liwat wingit kepati-pati. Maka dalam Serat Baron Sekender, dikisahkan ada pesawat kolonial yang hendak menyerang Kraton Yogya, tiba-tiba jatuh ketika berada di atas Kraton. Nuansa kosmis itu yang menyebabkan Kraton itu berbeda dengan tempat lain. Kraton itu seperti istana, tetapi perlu di ingat bahwa istana bukan-lah Kraton.

Dari waktu ke waktu, umumnya orang Jawa memandang Kraton selalu menyebarkan ruh kosmis, yaitu: (1) memberi perlindungan (hangayomi), (2) memberi rasa aman, tenang, dan tenteram (hangayemi), (3) memberi berkah berbagai hal (hamberkahi). Ketiganya tergambar pada watak raja yang mahambeg paramarta. Artinya, raja selalu menyebarkan watak keutamaan kepada kawula. Kawula memandang sultan sebagai figur yang mampu amangku-amengku-among-momot. Amangku, artinya bisa menciptakan suasana jenak, tenang, adhem ayem, memahami aspirasi bawahan secara total sebagaimana seorang ibu memangku anaknya. Amengku, berarti mampu menjalankan kekuasaan yang tidak semena-mena, penuh kecintaan, perlindungan, penuh perhatian, seperti halnya sayap ayam melindungi anaknya. Among-momot, artinya mampu memimpin dengan kultur kejawaan yang penuh asah-asih-asuh, mewadahi segala keinginan kawula. Ketiga hal itu terangkum dalam ungkapan mahambeg berbudi bawa leksana.

Melalui Perjanjian Giyanti yang dis-skenario kolonialis, 13 Februari 1755 hingga membelah Mataram menjadi dua yaitu Kasultanan Yogya dan Kasunan Surakarta, terkesan agak aneh. Sunan seakan representasi ulama dan sultan gambaran umaro, padahal kedua belah pihak jelas memuat ulama-umaro. Teologi dan teosofi Kraton Yogya selalu merujuk bahwa Kraton adalah sentral kosmis-filosofis. Kraton Yogya, tidak sekadar memimpin kawula secara lahir, melainkan juga dengan konsepsi filosofi kejawen yang luhur. Sultan yang bergelar Sayidin Panatagama Kalifatullah, diakui maupun tidak, jelas melukiskan sebuah paugeraning dumadi. Sultan dianggap figur waskitha atau nawung kridha, yang menjadi pandom (kiblat) kawula.

Atas dasar itu, Kraton sekaligus juga sebagai pusat (telenging dumadi). Maka kedudukan sultan menjadi abon-aboning panembah jati. Maksudnya, Kraton menjadi sentral kawula dalam melakukan persembahan. Hakikatnya kawula adalah menyembah Hyang Widhi, sebab sultan diobsesikan sebagai wakil (badal wakiling) Tuhan. Itulah sebabnya kawula selalu melakukan tindakan “saiyeg saeka praya sebaya pati sebaya mukti.” Demi tegaknya Kraton, kawula rela, ikhlas berkorban secara serentak, rukun, sampai titik darah yang penghabisan. Alasannya, jika Kraton menemui kejayaan kawula juga akan menerima kemurahan (luberan) berkah saking raja.

Atas dasar itu pula Puri Asih ngemban sampur, karena sebuah keprihatinan yang panjang atas hilangnya generasi-generasi muda calon-calon Punggawa Kraton akibat moderenisasi yang melanda bangsa ini. Bukan berarti tidak boleh menerima hal-hal yang berbau modern, akan tetapi diperlukan filter kuat yang bisa menyaring masuknya budaya-budaya barat yang sangat mencemaskan para kaum sepuh dan pinisepuh.

Dengan hilangnya generasi muda calon-calon punggawa Kraton, berarti Kraton akan kehilangan banyak kesatria (tentara) pejuang-pejuang etika dan norma-norma Jawa. Hal ini akan berakibat hilangnya etika serta norma-norma Jawa yang menjadi filosofi dan standart budi pekerti suatu bangsa. Semoga Puri Asih yang adalah rintisan bangkitnya kembali Ngayogjakarta, mampu menemukan punggawa-punggawa-Nya yang telah hilang dan mengatur kembali barisan yang sudah porak-poranda akibat moderenisasi, guna menuju Puri Sepuh sebagai bentuk kesiapan rohani dalam menghadapi sekaratul maut yang merupakan gerbang menuju kota baru yaitu Ngayogjakarata kapindo.

_()_
Rahayu!