( Hikmah 1 Suro 1947 thn
Alip)
Oleh Budi Siswanto
Sebuah Padepokan
dibangun di suatu pulau, tiga kilometer jauhnya dari pantai. Dalam Padepokan
itu terdapat seperangkat gamelan. Gong alat tabuh yang besar, bonang dan kenong yang kecil,
semuanya dibuat oleh pengrajin-pengrajin terbaik di dunia. Setiap kali angin
bertiup atau taufan menderu, semua gongso di Padepokan serentak berbunyi dan
secara terpadu membangun sebuah simponi. Hati setiap orang yang mendengarkannya
terpesona.
Tetapi
selama berabad-abad pulau itu telah tenggelam di dalam laut, demikian juga Padepokan
bersama dengan gongso-gongso-Nya.
Menurut
cerita turun-temurun gongso-gongso itu masih terus berbunyi, tanpa henti dan
dapat didengar oleh setiap orang yang mendengarkannya dengan penuh perhatian.
Tergeraklah oleh cerita ini, seorang pemuda menempuh perjalanan sejauh beratus-ratus kilometer.
Tekadnya telah bulat untuk mendengarkan bunyi gongso-gongso itu. Berhari-hari
ia duduk di pantai, berhadapan dengan tempat di mana Padepokan itu pernah
berdiri dan berusaha untk mendengarkan sesuatu seperti apa yang di ceritakan
oleh banyak orang, mendengarkan dengan
penuh perhatian. Tetapi apa yang dia
dapatkan?...ternyata yang dia dengar hanyalah suara gelombang laut yang memecah
di tepi pantai. Ia suadah berusaha mati-matian untuk menyisihkan suara
gelombang itu supaya dapat mendengar bunyi gongso seperti yang di ceritakan
banyak orang. Namun sia-sia.... Suara laut sajalah rupanya yang memenuhi alam
raya.
Ia
bertahan sampai berminggu-minggu. Ketika semangatnya mengendor, ia mendengarkan
orang tua-tua di kampung. Dengan terharu mereka menceritakan kisah seribu gongso
dan kisah tentang mereka yang telah mendengarnya. Dengan demikian ia semakin
yakin bahwa kisah itu memang benar. Dan semangatnya berkobar lagi, apabila
mendengar kata-kata mereka ... tetapi kemudian ia kecewa lagi, kalau usahanya
selama berminggu-minggu ternyata tidak menghasilkan apa-apa.
Akhirnya
ia memutuskan untuk mengakhiri usahanya. Barangkali ia tidak ditakdirkan
menjadi salah seorang yang beruntung dapat mendengar bunyi gongso-gongso di Padepokan yang telah
muksa di telan laut itu. Mungkin juga legenda itu hanyalah omong kosong belaka.
Lebih baik pulang saja dan mengakui atas kegagalannya, demikian lebih baik
pikirnya.
Pada hari
terakhir ia duduk di pantai, tepat berada di tempat yang paling dia sayangi. Ia
berpamitan kepada laut, langit, angin serta pohon-pohon kelapa. Ia berbaring di
atas pasir, memandang langit, mendengarkan suara laut. Pada hari itu ia tidak
berusaha menutup telinganya terhadap suara laut, melainkan menyerahkan dirinya
sendiri kepada-Nya. Dan ia pun menemukan suara yang lembut dan menyegarkan di
dalam gelora gelombang laut. Segera ia begitu hanyut dan tenggelam dalam suara
itu, sehingga ia hampir tidak menyadari dirinya lagi. Begitu dalam keheningan
yang ditimbulkan suara gelombang dalam hatinya.
Di dasar
keheningan itu, ia mendengarnya! Dentang bunyi satu gongso disambut oleh yang
lain, oleh yang lain lagi dan oleh yang lain lagi ... dan akhirnya seribu gongso
dari Padepokan itu berdentangan dengan satu melodi yang agung berpadu. Dalam
hatinya meluap rasa kagum dan gembira.
Jika
engkau ingin mendengar gongso-gongso di Padepokan yang telah lenyap itu,
dengarkanlah suara laut.
Jika
engkau ingin melihat Tuhan, pandanglah ciptaan dengan penuh perhatian. Jangan
menolaknya, jangan memikirkannya...........Pandanglah saja.
_()_ Rahayu