TANDA-TANDA SESEORANG
YANG SUDAH MENGALAMI PENCERAHAN
( PENCAPAIAN NENG, NING, NUNG, NANG )
Rahayu.....!
TINGKAT 1 (Neng;
sembah raga)
Jumeneng; menjalankan “syariat”. Namun makna syariat di sini mempunyai dimensi luas. Yakni dimensi “vertikal” individual kepada Tuhan, maupun dimensi sosial “horisontal” kepada sesama makhluk. Neng, pada hakekatnya sebatas melatih dan membiasakan diri melakukan perbuatan yang baik dan bermanfaat untuk diri pribadi, dan lebih utama untuk sesama tanpa pilih kasih. Misalnya seseorang melaksanakan sembahyang dan manembah kepada Tuhan dengan cara sebanyak nafasnya, guna membangun sikap eling dan waspadha. Neng adalah tingkat dasar, barulah setara “sembah raga” misalnya menyucikan diri dengan air, mencuci badan dengan cara mandi, wudlu, gosok gigi, upacara jamasan, tradisi siraman dsb. Termasuk mencuci pakaian dan tempat tinggal. Orang dalam tingkat “neng”, menyebut dan “menyaksikan” Tuhan barulah melalui pernyataan dan ucapan mulut saja. Kebaikan masih dalam rangka MELATIH diri mengendalikan hawa nafsu negatif, dengan bermacam cara misalnya puasa, semadi, bertapa, mengulang-ulang menyebut nama Tuhan dll. Melatih diri mengendalikan hawa nafsu agar bersifat positif dengan cara misalnya sedekah, amal jariah, zakat, gotong royong, peduli kasih, kepedulian sosial dll. Melatih diri untuk menghargai dan mengormati leluhur, dengan cara ziarah kubur, pergi haji, mengunjungi situs-situs sejarah, belajar dan memahami sejarah, dst. Melatih diri menghargai dan menjaga alam semesta sebagai anugrah Tuhan, dengan cara upacara-upacara ritual, ruwatan bumi, larung sesaji, dst. Tahapan ini dilakukan oleh raga kita, namun BELUM TENTU melibatkan HATI dan BATIN kita secara benar dan tepat.
Jumeneng; menjalankan “syariat”. Namun makna syariat di sini mempunyai dimensi luas. Yakni dimensi “vertikal” individual kepada Tuhan, maupun dimensi sosial “horisontal” kepada sesama makhluk. Neng, pada hakekatnya sebatas melatih dan membiasakan diri melakukan perbuatan yang baik dan bermanfaat untuk diri pribadi, dan lebih utama untuk sesama tanpa pilih kasih. Misalnya seseorang melaksanakan sembahyang dan manembah kepada Tuhan dengan cara sebanyak nafasnya, guna membangun sikap eling dan waspadha. Neng adalah tingkat dasar, barulah setara “sembah raga” misalnya menyucikan diri dengan air, mencuci badan dengan cara mandi, wudlu, gosok gigi, upacara jamasan, tradisi siraman dsb. Termasuk mencuci pakaian dan tempat tinggal. Orang dalam tingkat “neng”, menyebut dan “menyaksikan” Tuhan barulah melalui pernyataan dan ucapan mulut saja. Kebaikan masih dalam rangka MELATIH diri mengendalikan hawa nafsu negatif, dengan bermacam cara misalnya puasa, semadi, bertapa, mengulang-ulang menyebut nama Tuhan dll. Melatih diri mengendalikan hawa nafsu agar bersifat positif dengan cara misalnya sedekah, amal jariah, zakat, gotong royong, peduli kasih, kepedulian sosial dll. Melatih diri untuk menghargai dan mengormati leluhur, dengan cara ziarah kubur, pergi haji, mengunjungi situs-situs sejarah, belajar dan memahami sejarah, dst. Melatih diri menghargai dan menjaga alam semesta sebagai anugrah Tuhan, dengan cara upacara-upacara ritual, ruwatan bumi, larung sesaji, dst. Tahapan ini dilakukan oleh raga kita, namun BELUM TENTU melibatkan HATI dan BATIN kita secara benar dan tepat.
Kehidupan sehari-harinya dalam
rangka latihan menggapai tataran lebih tinggi, artinya harus berbuat apa saja
yg bukan perbuatan melawan rumus Tuhan. Tidak hanya berteori, kata kitab, kata
buku, menurut pasal, menurut ayat dst. Namun berusaha dimanifestasikan dalam perilaku dan perbuatan kehidupan
sehari-hari. Perbuatannya mencerminkan
perilaku sipat zat (makhluk) yang selaras dengan sifat hakekat (Tuhan).
Tanda pencapaiannya tampak pada SOLAH. Solah artinya perilaku atau perbuatan jasadiah yang tampak oleh
mata misalnya; tidak mencelakai orang lain, perilaku dan tutur kata
menentramkan, sopan dan santun, wajah ramah, ngadi busana atau cara
berpakaian yang pantas dan luwes menghargai badan. Akan tetapi perilaku
tersebut belum tentu dilakukan secara sinkron dengan BAWA-nya. BAWA yakni
“perilaku” batiniah yang tidak tampak oleh mata secara visual.
pada tataran awal
Pada tataran awal ini meskipun
seseorang seolah-olah terkesan baik namun belum menjamin pencapaian tataran
spiritual yang memadai, dan belum tentu diberkahi Tuhan. Sebab seseorang
melakukan kebaikan terkadang masih diselimuti rahsaning karep atau nafsu
negatif; rasa ingin diakui, mendapat nama baik atau pujian. Bahkan seseorang
melakukan suatu kebaikan agar kepentingan pribadinya dapat terwujud. Maka
akibat yang sering timbul biasanya muncul rasa kecewa, tersinggung, marah, bila
tidak diakui dan tidak mendapat pujian. Kebaikan seperti ini boleh jadi
bermanfaat dan mungkin baik di mata orang lain. Akan tetapi dapat diumpamakan
belum mendapat tempat di “hati” Tuhan. Kredit point nya masih nihil. Banyak orang merasa sudah berbuat baik, beramal, sodaqah,
suka menolong, membantu sesama, rajin doa, sembahyang. Tetapi
sering dirundung kesialan, kesulitan, tertimpa kesedihan, segala urusannya
mengalami kebuntuan dan kegagalan. Lantas
dengan segera menyimpulkan bahwa musibah atau bencana ini sebagai cobaan (bagi
orang-orang beriman).
Pada tataran ini, seseorang
masih rentan dikuasai nafsu ke-aku-an (api/nar/iblis). Diri sendiri dianggap
tahu segala, merasa suci dan harus dihormati. Siapa yang berbeda pendapat
dianggap sesat dan kafir. Konsekuensinya; bila memperdebatkan (kulit luarnya) ia
menganggap diri paling benar dan suci, lantas muncul sikap golek benere dewe, golek menange dewe, golek butuhe dewe. Ini sebagai
ciri seseorang yang belum sampai pada intisari ajaran yang dicarinya. Durung
becus keselak besus ! Rahayu.........!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar